Surah Al Fatihah
Ayat 7
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ
Penjelasan & Kandungan
“Istiqamah berada di atas jalan yang lurus”, itulah permintaan yang selalu diulang oleh setiap muslim dalam setiap rakaat shalatnya. Jalan lurus yang dimaksud adalah jalan mereka yang telah diberi nikmat oleh Allah berupa hidayah. Hidayah itu terbagi dua, yaitu;
- Hidayah berupa ilmu yang benar
- Hidayah berupa keimanan dan kemampuan dalam merealisasikan ilmu tersebut dalam keseharian
Seorang yang telah dikaruniai keduanya, mereka itulah orang-orang yang telah berjalan di atas jalan yang benar. Sebaliknya,
1.Mereka yang beramal tanpa ilmu, mereka itu adalah orang-orang sesat
2. Mereka yang berilmu tapi tidak mau mengamalkan ilmunya itu, mereka itu orang-orang yang dilaknat atasnya.
Olehnya, Allah mengarahkan kita, selain meminta hidayah, juga agar kita memohon perlindungan kepada Nya dari jalan mereka yang sesat dan jalan mereka yang dimurkai.
Setelah membaca Al Fatihah, dianjurkan mengucapkan “amiin”, baik ketika shalat ataupun di luar shalat. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata;
يستحب لمن يقرأ الْفَاتِحَةَ أَنْ يَقُولَ بَعْدَهَا آمِينَ، مِثْلَ يس، ويقال أمين بالقصر أيضا، ومعناه: اللهم استجب… قَالَ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ: وَيُسْتَحَبُّ ذَلِكَ لِمَنْ هُوَ خَارِجُ الصَّلَاةِ، وَيَتَأَكَّدُ فِي حَقِّ الْمُصَلِّي، وَسَوَاءٌ كَانَ مُنْفَرِدًا أَوْ إِمَامًا أَوْ مَأْمُومًا، وَفِي جَمِيعِ الْأَحْوَالِ
“Disunnahkan mengucapkan “amiin” setelah membaca surah Al Faatihah; boleh dengan memanjangkan Alifnya dan boleh juga dengan memendekkannya. Makna dari “Amiin” adalah; ya Allah, kabulkan dan terimalah … Para ulama semadzhab kami (ulama syafi’iy) dan yang lainnya berkata; disenangi juga untuk mengucapkannya bagi mereka yang membacanya di luar shalat. Dan anjuran untuk mengucapkannya bagi mereka yang membacanya ketika shalat adalah lebih tegas.”. (Ibnu Kaatsiir; 1/58)